Rabu, 13 September 2017

Terjemahan Cetak B.inggris Ki Hajar Dewantara

Terjemahan Cetak Bahasa Inggris Kelas 11 
Chapter 9



Ki Hajar Dewantara


(Raden Mas Suwardi Suryaningrat)

The development of good character should be the heart and soul of education, and should dominate the spirit of teaching. This was the philosophy of the “Father of Education” in Indonesia, Ki Hajar Dewantara. The reason, he said, was that teaching and character building are like two sides of a coin and cannot, and should not be separated.
Pengembangan karakter yang baik harus menjadi jantung dan jiwa pendidikan, dan harus mendominasi semangat mengajar. Ini adalah filosofi "Bapak Pendidikan" di Indonesia, Ki Hajar Dewantara. Pasalnya, kata dia, adalah bahwa pengajaran dan pembangunan karakter seperti dua sisi mata uang dan tidak bisa, dan tidak boleh dipisahkan.
Education, by definition, means guiding student lives in a strong foundation of good character, so that they would be civilized humans of highest moral fibre, thus laying the foundation of a great nation without distinction of religion, ethnicity, customs, economic and social status.
Pendidikan, menurut definisi, berarti membimbing mahasiswa tinggal di sebuah fondasi yang kuat dari yang baik karakter, sehingga mereka akan manusia beradab serat moral yang tertinggi, sehingga meletakkan dasar sebuah bangsa yang besar tanpa membedakan agama, suku, adat istiadat, ekonomi dan status sosial.
Ki Hajar Dewantara was born in the royal family of Yogyakarta on 2 May 1889. His given name was Raden Mas Suwardi Suryaningrat which he later changed to renounce his connections with the royal family. He transformed himself into an activist, columnist, politician and pioneer of education for Indonesians. He fought for rights of Indonesians during Dutch and Japanese colonial eras (www.tokoindonesia.com).
Ki Hajar Dewantara lahir di keluarga kerajaan Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Namanya diberikan adalah Raden Mas Suwardi Suryaningrat yang ia kemudian berubah untuk meninggalkan koneksi dengan keluarga kerajaan. dia berubah dirinya menjadi seorang aktivis, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi Indonesia. Dia berjuang untuk hak-hak orang Indonesia selama Belanda dan Jepang era kolonial (www.tokoindonesia.com).
He was born into an aristocratic family that granted him the privilege of free access to education of his choice. He got his primary education from ELS (Europeesche Lagere School), then he continued his education at Stovia (Java Medical School) but due to health reasons he couldn't finish it. He started writing for newspapers and eventually all his writings were focused on Indonesian patriotism, thus anti Dutch. He was involved in the early activities of Budi Utomo and the Indiesche Party, which were both important in the early development of the pergerakan, the “movement” that grew up with a nascent Indonesian national political consciousness (www.indonotes.wordpress.com).
Ia dilahirkan dalam sebuah keluarga bangsawan yang diberikan kepadanya hak istimewa akses gratis ke pendidikan pilihannya. Dia mendapat pendidikan utamanya dari ELS (Europeesche Lagere School), kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Stovia (Java Medical School) namun karena alasan kesehatan ia tidak bisa menyelesaikannya. Dia mulai menulis untuk surat kabar dan akhirnya semua tulisan-tulisannya terfokus pada Indonesia patriotisme, sehingga anti Belanda. Ia terlibat dalam kegiatan awal Budi Utomo dan Indiesche Partai, yang keduanya penting dalam pengembangan awal yang Pergerakan, "gerakan" yang tumbuh dengan nasional Indonesia yang baru lahir
kesadaran politik (www.indonotes.wordpress.com).
He was exiled between 1913 and 1919 following the publication of two of Bahasa Inggris 65 his articles: “Als ik eens Nederlander” (If I was a Dutchman) and “Eén voor allen en allen voor één” (One for all and all for one). He used his time in exile to learn more about education and obtained a Europeesche certificate (www.tokoindonesia.com).
Dia diasingkan antara tahun 1913 dan 1919 menyusul penerbitan dua Bahasa Inggris 65 artikel nya: "Als ik eens Nederlander" (Jika saya adalah seorang Belanda) dan "Een voor allen en allen voor één "(Satu untuk semua dan semua untuk satu). Dia menggunakan waktunya di pengasingan untuk mempelajari lebih lanjut tentang pendidikan dan memperoleh sertifikat Europeesche (www.tokoindonesia.com).
Following his return, he focused more on cultural and educational efforts paving way to develop educational concepts in Indonesia. He believed that education is very important and the most important means of freeing Indonesians from clutches of colonization. He played a leading role in establishing “National Onderwijs Institut Taman Siswa” in 1922. This institution was established to educate native Indonesians during colonial times. This institution was based on these principles :
1. Ing Ngarsa Sung Tuladha (the one in front sets example).
2. Ing Madya Mangun Karsa (the one in the middle builds the spirit and
encouragement).
3. Tut Wuri Handayani (the one at the back gives support)
(indonotes.wordpress.com).
Setelah kembali, ia lebih terfokus pada upaya budaya dan pendidikan membuka jalan untuk mengembangkan konsep pendidikan di Indonesia. Dia percaya bahwa pendidikan sangat penting dan cara yang paling penting untuk membebaskan Indonesia dari cengkeraman penjajahan. Ia memainkan peran utama dalam membangun "National Onderwijs Institut Taman Siswa "pada tahun 1922. Lembaga ini didirikan untuk mendidik asli Indonesia selama masa penjajahan. Lembaga ini didasarkan pada prinsip-prinsip ini:
1. Ing Ngarsa Sung tuladha (satu di depan set contoh).
2. Ing Madya Mangun Karsa (satu di tengah membangun semangat dan
dorongan).
3. Tut Wuri Handayani (satu di belakang memberi dukungan)
(Indonotes.wordpress.com).
As Ki Hajar believed that character was not merely a theoretical concept, but a practical and living concept, he embodied his vision in his school, Taman Siswa. The central goals of Taman Siswa emphasized character building, including traits such as patriotism and love for the nation, and a sense of national identity. His vision was that Indonesians would be free from colonial powers, to fight for independence and have good character. He continued writing but his writings took a turn from politics to education. These writings later laid foundation of Indonesian education. Froebel, Montessori and Tagore influenced his educational principles and in Taman Siswa he drew some inspiration from Tagore's Shantiniketan (asrirahayudamai.wordpress.com).
Sebagai Ki Hajar percaya karakter yang bukan hanya konsep teoritis, tapi konsep praktis dan hidup, ia diwujudkan visinya di sekolahnya, Taman Siswa. Tujuan utama dari Taman Siswa menekankan pembangunan karakter, termasuk ciri-ciri seperti patriotisme dan cinta tanah air, dan rasa identitas nasional. Visinya adalah bahwa Indonesia akan bebas dari kekuasaan kolonial, untuk memperjuangkan independensi dan memiliki karakter yang baik. Ia terus menulis tapi tulisannya mengambil giliran dari politik pendidikan. Tulisan-tulisan ini kemudian meletakkan dasar dari pendidikan di Indonesia. Froebel, Montessori dan Tagore dipengaruhi pendidikan nya prinsip dan di Taman Siswa ia menarik inspirasi dari Tagore Shantiniketan (asrirahayudamai.wordpress.com).
After independence, he was given the office of Minister of Education and Culture. For his efforts in pioneering education for the masses, he was officially declared Father of Indonesian Education and his birthday is celebrated as National Education Day. His portrait was on 20,000 rupiah note till 2002. He was officially nd th confirmed as a National Hero of Indonesia by the 2 President of Indonesia on 28 November 1959 (Tokohindonesia.com).
Setelah kemerdekaan, ia diberi jabatan Menteri Pendidikan dan Budaya. Untuk usahanya dalam merintis pendidikan untuk rakyat, ia resmi menyatakan Bapak Pendidikan Indonesia dan ulang tahunnya diperingati sebagai National Hari Pendidikan. potretnya adalah pada catatan 20.000 rupiah sampai 2002. Dia resmi nd th dikonfirmasi sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh 2 Presiden Indonesia pada tanggal 28 November 1959 (Tokohindonesia.com).
Ki Hajar Dewantara passed away on 26th April 1952 at the age of 69 years. His wife donated all Ki Hajar's belongings to Dewantara Kirti Griya Museum, Yogyakarta. He was a great man who spent his whole life serving his people and country.
Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia pada tanggal 26 April 1952 pada umur 69 tahun.Istrinya disumbangkan barang-barang semua Ki Hajar Dewantara Kirti Griya MuseumYogyakarta. Dia adalah orang besar yang menghabiskan seluruh hidupnya melayani umat-Nya dan negara.



Terima Kasih sudah mampir.,

0 comments:

Posting Komentar