Terjemahan Cetak Bahasa Inggris Kelas 11
Chapter 9
Chapter 9
Ki Hajar Dewantara
(Raden Mas
Suwardi Suryaningrat)
The
development of good character should be the heart and soul of education, and
should dominate the spirit of teaching. This was the philosophy of the “Father
of Education” in Indonesia, Ki Hajar Dewantara. The reason, he said, was that
teaching and character building are like two sides of a coin and cannot, and
should not be separated.
Pengembangan karakter yang baik
harus menjadi jantung dan jiwa pendidikan, dan harus mendominasi semangat
mengajar. Ini adalah filosofi "Bapak Pendidikan" di Indonesia, Ki
Hajar Dewantara. Pasalnya, kata dia, adalah bahwa pengajaran dan pembangunan
karakter seperti dua sisi mata uang dan tidak bisa, dan tidak boleh dipisahkan.
Education,
by definition, means guiding student
lives in a strong foundation of good character,
so that they would be civilized humans of
highest moral fibre, thus laying the foundation of a
great nation without distinction of religion, ethnicity, customs, economic and social
status.
Pendidikan, menurut definisi,
berarti membimbing mahasiswa tinggal di sebuah fondasi
yang kuat dari yang baik karakter, sehingga mereka akan
manusia beradab serat moral yang tertinggi, sehingga
meletakkan dasar sebuah bangsa yang besar tanpa
membedakan agama, suku, adat istiadat, ekonomi dan status sosial.
Ki
Hajar Dewantara was born in the royal family of Yogyakarta on 2 May 1889.
His given name was Raden Mas Suwardi Suryaningrat which he later changed
to renounce his connections with the royal family. He transformed himself
into an activist, columnist, politician and pioneer of education for Indonesians.
He fought for rights of Indonesians during Dutch and Japanese colonial
eras (www.tokoindonesia.com).
Ki Hajar Dewantara lahir di keluarga
kerajaan Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Namanya diberikan adalah Raden
Mas Suwardi Suryaningrat yang ia kemudian berubah untuk meninggalkan koneksi
dengan keluarga kerajaan. dia berubah dirinya menjadi seorang aktivis,
kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi Indonesia. Dia berjuang untuk
hak-hak orang Indonesia selama Belanda dan Jepang era kolonial (www.tokoindonesia.com).
He
was born into an aristocratic family that granted him the privilege of free
access to education of his choice. He got his primary education from ELS (Europeesche
Lagere School), then he continued his education at Stovia (Java Medical
School) but due to health reasons he couldn't finish it. He started writing for
newspapers and eventually all his writings were focused on Indonesian patriotism,
thus anti Dutch. He was involved in the early activities of Budi Utomo and
the Indiesche Party, which were both important in the early development of the
pergerakan, the “movement” that grew up with a nascent Indonesian national political
consciousness (www.indonotes.wordpress.com).
Ia dilahirkan dalam sebuah keluarga
bangsawan yang diberikan kepadanya hak istimewa akses gratis ke pendidikan
pilihannya. Dia mendapat pendidikan utamanya dari ELS (Europeesche Lagere School),
kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Stovia (Java Medical School) namun karena alasan
kesehatan ia tidak bisa menyelesaikannya. Dia mulai menulis untuk surat kabar dan akhirnya semua
tulisan-tulisannya terfokus pada Indonesia patriotisme, sehingga anti Belanda.
Ia terlibat dalam kegiatan awal Budi Utomo dan Indiesche Partai, yang keduanya
penting dalam pengembangan awal yang Pergerakan, "gerakan"
yang tumbuh dengan nasional Indonesia yang baru lahir
kesadaran politik (www.indonotes.wordpress.com).
He
was exiled between 1913 and 1919 following the publication of two of Bahasa
Inggris 65 his
articles: “Als ik eens Nederlander” (If I was a Dutchman) and “Eén voor allen
en allen
voor één” (One for all and all for one). He used his time in exile to learn
more about
education and obtained a Europeesche certificate (www.tokoindonesia.com).
Dia
diasingkan antara tahun 1913 dan 1919 menyusul penerbitan dua Bahasa
Inggris 65 artikel
nya: "Als ik eens Nederlander" (Jika saya adalah seorang Belanda) dan
"Een voor allen en allen
voor één "(Satu untuk semua dan semua untuk satu). Dia menggunakan
waktunya di pengasingan untuk mempelajari lebih lanjut tentang
pendidikan dan memperoleh sertifikat Europeesche (www.tokoindonesia.com).
Following
his return, he focused more on cultural and educational efforts paving
way to develop educational concepts in Indonesia. He believed that education
is very important and the most important means of freeing Indonesians from
clutches of colonization. He played a leading role in establishing “National Onderwijs
Institut Taman Siswa” in 1922. This institution was established to educate
native Indonesians during colonial times. This institution was based on these
principles :
1.
Ing Ngarsa Sung Tuladha (the one in front sets example).
2.
Ing Madya Mangun Karsa (the one in the middle builds the spirit and
encouragement).
3.
Tut Wuri Handayani (the one at the back gives support)
(indonotes.wordpress.com).
Setelah
kembali, ia lebih terfokus pada upaya budaya dan pendidikan membuka
jalan untuk mengembangkan konsep pendidikan di Indonesia. Dia percaya bahwa pendidikan
sangat penting dan cara yang paling penting untuk membebaskan Indonesia dari
cengkeraman penjajahan. Ia memainkan peran utama dalam membangun "National Onderwijs
Institut Taman Siswa "pada tahun 1922. Lembaga ini didirikan untuk mendidik
asli Indonesia selama masa penjajahan. Lembaga ini didasarkan pada prinsip-prinsip
ini:
1.
Ing Ngarsa Sung tuladha (satu di depan set contoh).
2.
Ing Madya Mangun Karsa (satu di tengah membangun semangat dan
dorongan).
3.
Tut Wuri Handayani (satu di belakang memberi dukungan)
(Indonotes.wordpress.com).
As
Ki Hajar believed that character was not merely a theoretical concept, but
a practical and living concept, he embodied his vision in his school, Taman Siswa.
The central goals of Taman Siswa emphasized character building, including traits
such as patriotism and love for the nation, and a sense of national identity. His
vision was that Indonesians would be free from colonial powers, to fight for independence
and have good character. He continued writing but his writings took
a turn from politics to education. These writings later laid foundation of Indonesian
education. Froebel, Montessori and Tagore influenced his educational principles
and in Taman Siswa he drew some inspiration from Tagore's Shantiniketan
(asrirahayudamai.wordpress.com).
Sebagai
Ki Hajar percaya karakter yang bukan hanya konsep teoritis, tapi
konsep praktis dan hidup, ia diwujudkan visinya di sekolahnya, Taman Siswa.
Tujuan utama dari Taman Siswa menekankan pembangunan karakter, termasuk ciri-ciri
seperti patriotisme dan cinta tanah air, dan rasa identitas nasional. Visinya
adalah bahwa Indonesia akan bebas dari kekuasaan kolonial, untuk memperjuangkan independensi
dan memiliki karakter yang baik. Ia terus menulis tapi tulisannya mengambil
giliran dari politik pendidikan. Tulisan-tulisan ini kemudian meletakkan dasar
dari pendidikan
di Indonesia. Froebel, Montessori dan Tagore dipengaruhi pendidikan nya prinsip
dan di Taman Siswa ia menarik inspirasi dari Tagore Shantiniketan
(asrirahayudamai.wordpress.com).
After
independence, he was given the office of Minister of Education and Culture.
For his efforts in pioneering education for the masses, he was officially declared
Father of Indonesian Education and his birthday is celebrated as National Education
Day. His portrait was on 20,000 rupiah note till 2002. He was officially nd
th confirmed as a National Hero of Indonesia by the 2 President of Indonesia on
28 November
1959 (Tokohindonesia.com).
Setelah kemerdekaan, ia diberi
jabatan Menteri Pendidikan dan Budaya. Untuk usahanya dalam
merintis pendidikan untuk rakyat, ia resmi menyatakan Bapak Pendidikan
Indonesia dan ulang tahunnya diperingati sebagai National Hari Pendidikan. potretnya adalah
pada catatan 20.000 rupiah sampai 2002. Dia resmi nd th dikonfirmasi sebagai Pahlawan
Nasional Indonesia oleh 2 Presiden Indonesia pada tanggal 28 November 1959 (Tokohindonesia.com).
Ki
Hajar Dewantara passed away on 26th April 1952 at the age of 69 years. His
wife donated all Ki Hajar's belongings to Dewantara Kirti Griya Museum, Yogyakarta.
He was a great man who spent his whole life serving his people and country.
Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia pada tanggal 26 April 1952 pada umur 69 tahun.Istrinya disumbangkan barang-barang semua Ki Hajar Dewantara Kirti Griya MuseumYogyakarta. Dia adalah orang besar yang menghabiskan seluruh hidupnya melayani umat-Nya dan negara.
Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia pada tanggal 26 April 1952 pada umur 69 tahun.Istrinya disumbangkan barang-barang semua Ki Hajar Dewantara Kirti Griya MuseumYogyakarta. Dia adalah orang besar yang menghabiskan seluruh hidupnya melayani umat-Nya dan negara.
Terima Kasih sudah mampir.,
0 comments:
Posting Komentar